PENDIDIKAN INKLUSIF (Bagian 1)

Pendahuluan
Setiap orang tua selalu mendambakan anak lahir dengan keadaan tak sekurang apapun dan berkembang selayaknya anak-anak pada umumnya. Namun demikian, sebagian di antara kita terkadang mendapati kondisi yang berbeda dari buah hati kita. Ada sebagian orang tua diberikan rahmat anak yang lahir dan berkembang dengan kondisi yang tidak sama dengan anak-anak pada umumnya seperti anak dengan hambatan penglihatan, pendengaran, gangguan mental, keadaan fisik yang berbeda, hiperaktif, sulit berbicara, gangguan konsentrasi maupun anak autis, kesulitan membaca, menulis dan berhitung (learning diabilitas/kesulitan belajar). Keadaan anak ini disebut dengan anak berkebutuhan khusus (ABK). Terminologi ABK ini sebenarnya tidak sebatas anak-anak di atas. Anak jalanan, korban bencana alam, anak korban perang, HIV, korban penyalahgunaan narkoba, juga di kategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus.

Setiap individu memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tak terkecuali ABK. Sebagai bagian dari warga negara, ABK harus tetap mendapatkan akses pendidikan dari sejak lahir hingga akhir hayat, baik di keluarga, sejak usia dini hingg perguruan tinggi. Mereka dapat menempuh pendidikan melalui jalur non formal atau formal pada Sekolah Luar Biasa (SLB) atau melalui Sekolah Inklusi.

Dalam satu dekade terakhir ini, isu pendidikan inklusif terus disosialisasikan, dikembangkan dan diimplementasikan. Penyelengaraan pendidikan yang mereduksi filosofi inklusi terus diciptakan. Oleh karena itu sudah saatnya masyarakat pada umumnya dan masyarakat pendidikan khususnya dikenalkan apa itu pendidikan inklusif dan implementasinya. Tulisan ini mencoba memberikan pengantar tentang hakekat inklusi, pendidikan inklusif dan implementasinya.

Hakikat Inklusi
Secara harafiah inklusi (inclusion) berarti “ketercakupan/ketersertaan”. Heijmen (2005) mengemukakan bahwa inklusi pada hakikatnya adalah sebuah filosofi pendidikan dan sosial yang menghargai keberagaman, menghormati bahwa semua orang adalah bagian dari yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun perbedaannya. Falsafah inklusi memandang manusia sebagai makhluk yang sederajat walaupun berbeda-beda. Filosofi inklusi itu juga berkaitan dengan kepemilikan, keikutsertaan, partisipasi dalam komunitas dan keinginan untuk dihargai.

Manusia diyakini diciptakan untuk menjadi satu masyarakat, sehingga sebuah masyarakat yang normal selalu ditandai oleh adanya keragaman dan keanekaragaman, bukan keseragaman. Secara empiris tidak pernah kita dengar adanya pelabelan masyarakat (desa/kota) dengan label tertentu dimana anggota masyarakatnya seragam seperti desa khusus untuk orang tuli, kota khusus untuk orang buta, kota khusus untuk anak autistik, daerah untuk orang cacat mental, desa untuk orang yang tidak bisa membaca dan sebagainya. Keanekaragaman dan keragaman yang terjadi adalah normal adanya dan berbagai katagori individu dengan hambatan seperti hambatan fisik, mental, intelektual, sosial, emosi dan komuniaksi dan bahasa, ekonomi, agama, suku dan sebagainya selayaknya dilihat sebagai hal yang lumrah.

Falsafah inklusi mencoba menghargai perbedaan-perbedaan setiap individu. Inklusif memandang manusia dengan segala karakteristik uniknya, merangkul perbedaan yang ada dan saling berbagi sesama manuasi. Falsafah inklusif menekankan sikap menghargai atas perbedaan dan kebalikannya inklusi mencoba melawan diskriminasi, eksklusivitas, memberikan hak dan menciptakan keadilan yang seadil-adilnya.

Pendidikan Inklusif
Kita telah diciptakan sederajad walaupun berbeda-beda. Apapun jenis kelamin, penampilan, kesehatan atau kemampuan berfungsi, kita telah diciptakan ke dalam suatu masyarakat. Penting untuk diakui bahwa sebuah masyarakat normal ditandai oleh keragaman dan keberagaman–bukan keseragaman. Namun pada kenyataannya anak-anak dan orang dewasa yang berbeda dalam kebutuhannya dari kebutuhan kebanyakan orang telah dipisahkan dengan alasan yang beragam untuk waktu yang terlalu lama– semua alasan tersebut tidak adil. (Skjorten, 2003).

Mereduksi filosofi inklusif di atas, maka pendidikan inklusif dikembangkan berdasarkan keyakinan fundamental bahwa setiap individu dapat belajar, berkembang, tumbuh, dan bekerja dengan semua orang yang memiliki latar belakang yang berbeda di sekolah, lingkungan kerja dan masyarakat. Pendidikan inklusif adalah wujud nyata komitmen penyediaan kesempatan belajar bagi semua anak, remaja dan orang dewasa dengan fokus pada individu yang tergolong minoritas, terpinggirkan dan tidak terperhatikan.
Sebagian individu yang tergolong minoritas, terpinggirkan dan belum terperhatikan dalam pendidikan. Pendidikan inklusif merupakan pendekatan pendidikan yang berusaha mengakomodasi semua anak tanpa mempedulikan keadaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, atau kondisi-kondisi lain, termasuk anak-anak penyandang disabilitas, anak-anak berbakat (gifted children), pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas dan anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat (Salamanca Statement, 1994 dalam Stubbs, 2003).

Dalam konteks pendidikan inklusif berarti semua anak, siapapun mereka, terlepas dari kemampuan maupun ketidakmampuan intekektual mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku, budaya atau bahasa, agama ataupun jender selayaknya menyatu dalam komunitas sekolah yang sama. Dengan berbagai perbedaan yang ada, setiap individu memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang sama.

Pendidikan inklusif harus menjangkau semua anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Pendidikan inklusif selayaknya merangkul mereka yang termarjinalkan untuk dapat mengenyam pendidikan yang berkualitas. Pendidikan inklusif membuat sesuatu yang tidak terlihat menjadi terlihat, yang tidak diperhatikan menjadi diperhatikan, yang tidak terlayani menjadi berharga dan yang tersisih menjadi dapat berpartisipasi. Pendidikan inklusif mencoba memastikan bahwa semua siswa mendapatkan hak dan memastikan semua siswa memperoleh pendidikan dengan kualitas yang baik. (Shaeffer, 2005).

Pendidikan inklusif merespon adanya perbedaan dalam pendidikan. Pendidikan inklusif berusaha menempatkan anak berkebutuhan khusus dengan kondisi ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas regular. Sapon-Shevin dalam Sunardi (2002) menyatakan bahwa pendidikan inklusif merupakan sistem pelayanan pendidikan kebutuhan khusus yang mempersyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman sebayanya. Untuk itu ditekankan adanya rekunstruksi elemen-elemen di sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan setiap anak, artinya sumber dan dukungan dari semua guru dan siswa harus diperkaya.

Tujuan dari pendidikan inklusif adalah untuk memastikan akses yang sama dan kesempatan yang sama dalam pendidikan bagi semua individu termasuk individu yang berkebutuhan khusus, terlepas dari bentuk kebutuhan khusus mereka. (Booth, Ainscow, 2007). Inklusi mengarah ke “merge ” dari minoritas (yaitu individu dengan disabilitas/kebutuhan pendidikan khusus) dan mayoritas (yaitu populasi utuh/rekan utuh). Kelas inklusif menciptakan lingkungan pendidikan yang sesuai dan juga untuk anak yang berbakat dan cerdas. Sekolah inklusi menawarkan anak dengan kebutuhan khusus berkesempatan untuk belajar bersama-sama dengan teman sebaya mereka, untuk belajar di kelompok yang heterogen. (Catatan: bagian dari pembelajaran sosial), untuk terlibat dalam pendidikan dengan cara yang sesuai dengan keterampilan dan kebutuhan mereka, dalam lingkungan yang aman yang meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri mereka.

 

APA ITU AUTIS?

Kita seringkali mendengar kata autis tetapi kita sebenarnya masih bertanya-tanya apa sebenarnya yang dimaksud dengan kata autis. Masyarakat gampang sekali mengkaitkan kata autis pada anak-anak ketika ada anak yang memiliki perilaku aktif, suka marah dan ngamuk, tidak bisa bicara dan berperilaku aneh. “Dia autis pak, anaknya tidak bisa bicara dan diam saja kalau di tanya, di kelas anak suka jalan-jalan! kata sorang Guru”. Bukti tersebut terlalu sederhana untuk menyimpulkan bahwa seorang anak dikatakan sebagai anak autis.

Autis adalah gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat komplek/berat dalam kehidupan yang panjang, yang meliputi gangguan pada aspek perilaku, interaksi sosial, komunikasi dan bahasa, serta gangguan emosi dan persepsi sensorik bahkan pada aspek motoriknya. (Yuwono, 2019).  Gangguan/hambatan pada aspek perkembang perilaku anak autis  seperti perilaku stereotype, perilaku mengulang-ulang gerakan, aktivitas yang sangat rigid routine, menyukai benda berputar, menderet-nderet benda, dan memiliki kelekatan terhadap benda tertentu tetapi tidak fungsional.

Keterlambatan pada aspek perkembangan komunikasi dan bahasa anak autis adalah adanya kesulitan berkomunikasi dan atau  keterlambatan bicara. Anak autis terkadang sangat kesulitan untuk berkomunikasi  sekalipun menggunakan bahasa isyarat gerak dan mimik. Ekspresi gerak dan mimik tidak mudah untuk dipahami. Pada aspek perkembangan bahasa anak autis kesulitan untuk mengerti perintah dan berbicara. Banyak ditemukan bahwa anak autis terkadang dapat berbicara tetapi kemampuan bicaranya tidak dapat digunakan untuk kepentingan sehari-hari. Kadang anak autis hanya menggunakan kemampuan bicaranya secara berulang-ulang dan tidak situasional. Sekalipun anak autis dapat berbicara tetapi ketika diberikan pertanyaan anak menjawab pertanyaan dengan mengulang pertanyaan. (membeo). “Siapa namamu?”, anak menjawab “namamu.” “Adik sudah makan?”. adik menjawab “sudah makan”.

Selanjutnya, anak autis memiliki kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain. Anak autis kesulitan memahami bagaimana berhubungan, bertemen atau bermain dengan orang lain. Sebagai ilustrasi dapat dilihat bagiamana anak autis saat mengikuti kegiatan ulang tahun. Ia tetap dalam dunianya sendiri. Ada dua kemungkinan yang terjadi, pertama anak duduk bersama-sama dengan anak-anak yang lain tetapi anak autis tidak terlibat dalam kegiatan ulang tahun. Anak-anak yang lain asyik bertepuk tangan, memperhatikan hiburan badut, bergembira tetapi anak autis cenderung asyik dengan dirinya sendiri. Bisa jadi anak malah bermain pita, asyik memperhatikan pita rambut temanya, atau justru membuka-buka kado teman yang ulang tahun. Kedua, anak autis memisahkan diri dan memilih menyendiri bermain di pojok ruangan atau sekedar memperhatikan pantulan cahaya dari kaca jendela, memainkan jari-jari tanganya atau sekedar bermain kertas memisahkan dari kelompok teman-temannya yang merayakan ulang tahun.

Selain gangguan/hambatan pada tiga area perkembangan tersebut di atas, ada beberapa area perkembangan lain yang juga nampak memiliki masalah seperti gangguan sensorik, emosi, maupun koordinasi motorik. Manifestasi gangguan sensorik dapat berupa perilaku takut bermain ayunan, suka main pasir, tidak nyaman kalau dipeluk, tidak mudah menunjukkan rasa senang, sedih (secara situasional), koordinasi lempar tangkap bola, pukul bola, tendang bola dan sebagaianya. (over responsive/hipersensitif). Kondisi gangguan sensorik bahkan bisa kebalikanya yakni anak autis justru tidak merasa takut terhadap aktifitas tertentu misalnya anak justru suka memanjat pada ketinggian, bermain air berlama-lama, bergerak seperti tak kenal lelah, dan lainsebagainya. (under responsive/hiposensitif)

Gejala-gejala perilaku autis tersebut di atas dapat dilihat pada usia sebelum usia 3 tahun. Jika seorang anak pada usia 2-3 tahun diketahui memiliki gejala-gejala tersebut di atas maka orang tua segera berkonsultasi kepada profesional seperti Dokter, psikolog, terapis atau guru pendidikan khusus untuk mendapatkan informasi yang tepat tentang perkembangan anak anda dan apa yang perlu dilakukan oleh orang tua untuk membantu perkembangan anak menjadi lebih baik.

Salam Hidup Bermanfaat!

 

Memahami dan Mengatasi Tantrum dan Meltdown Anak Autis

Orang tua, pengasuh dan GURU pernah menyaksikan kemarahan dan emosi dari anak autisme yang meledak-ledak. Perilaku mereka dari luar terlihat persis seperti amarah anak-anak kecil. Ada 2 hal perilaku terkait dengan anak autis yakni dengan istilah Tantrum dan Meltdown. Keduanya terlihat sama tetapi berbeda.

Tantrum (mengamuk) pada anak kecil biasanya berasal dari frustrasi karena tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan pada saat itu dan atau tertekan: apakah itu ingin mainan, makanan, melakukan aktifitas sederhana yang diinginkan, atau tidak ingin pergi tidur. Tantrum pada anak kecil bisa lebih sering terjadi ketika mereka lelah, lapar atau tidak enak badan, mereka selalu berorientasi pada tujuan. Entah frustrasi karena tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, tidak mampu melakukan apa yang mereka inginkan, atau bahkan tidak mampu mengomunikasikan apa yang mereka inginkan dengan benar.  Sementara itu, Meltdown pada anak autis pada sisi lain itu adalah tentang kewalahan (over stimulation). Anak autisme, ketika mereka mencapai titik sensorik, emosional, dan informasi yang berlebihan, atau bahkan terlalu banyak ketidakpastian, itu dapat memicu berbagai perilaku eksternal yang mirip dengan tantrum (seperti menangis, berteriak, atau menjilat) ), atau dapat memicu shutdown dan withdrawal (menarik diri secara total).

Perilaku Tantrum pada anak autis itu karena keinginan anak tidak dapat dipenuhi oleh lingkungan (guru, teman, situasi dll) maka anak akan tantrum. Nah, ada istilah tentangMeltdown, yakni perilaku yang terjadi jika anak sudah over stimulation dan anak autis tidak dapat merespon dengan baik. Anak marah karena situasi tak dapat dipahami akibat over stimulation (Baca: Jean Ayres dan Miller tentang: Sensory Processing Disorders (SPD). Perilaku Tantrum dan Meltdown jika dibiarkan dalam waktu yang panjang maka akan mengganggu perkembangan anak autis.

Salah beberapa cara mengatasi perilaku tantrum adalah tenangkan anak, jangan menekan anak atau memaksa tugas sementera anak tidak bersedia mengerjakan tugaa. Guru harus sedikit mengubah cara. Identifikasilah apa yang membuat anak tantrum. Sedang untuk meltdown adalah kenali anak, hal-hal apa yang membuat kemarahan anak muncul dengan mengidentifikasi apa yang membuat anak Meltdown, buat pengelolaan kelas dengan tujuan mengurangi sebanyak mungkin situasi membuat anak autis kebingungan. Jika perilaku meltdown terjadi berikan waktu anak untuk sendiri (tetap terawasi) untuk menenangkan diri. Ingat dengan over stimulation.

PERHATIAN:

  1. Jangan anggap sepele biasanya guru mengatakan: “biasa dia….susah,….saya tidak tahu, atau guru mengatakan lagi EROR atau Kumat! Sangat tidak dinginkan kata2 itu!.
  2. Jangan Dimarahi! Karena itu menambah masalah perkembangan anak.
  3. Kurangi hal-hal yang menyebabkan terjadinya Tantrum dan Meltdown dengan ilustrasi seperti “ada sebuah ember dipenuhi dengan air ingga terlalu banyak maka tumpah semua. Solusinya adalah lubangi ember sedikit (kecil-kecil) sehingga dapat mengalir keluar untuk mengeurangi beban tekanan air” (tekanan dan beban sensorik yang membuat bingung anak)
  4. Jangan mengacuhkan. Tetap terawasi dan berikan ketenangan, rasa nyaman.
 

TERMINOLOGI AUTISM DALAM SEJARAH TEMUAN TAHUN 1911-1943

Untuk mendapatkan pemahaman tentang anak autism dengan baik, maka pemahaman terhadap sejarah munculnya terminologi autism menjadi penting sekali untuk diketahui jalan ceriteranya. Sejarah munculnya terminologi autism pertama kali dicetuskan oleh Eugen Bleuler seorang Psikiatrik Swiss pada tahun 1911, dimana terminologi ini digunakan pada penderita schizophrenia anak remaja. Pada tahun 1943, Dr. Leo Kanner dari Johns Hopkins University mendiskripsikan tentang autism pada masa kanak-kanak awal (Infantile Autism). Penemuannya didasarkan pada hasil observasi dari 11 anak-anak dari tahun 1938-1943.

Volkmar et al. (2005) menulis bahwa pada tahun 1943, Kanner mendiskripsikan 11 anak-anak dengan gangguan kontak yang efektif anak autism yang terjadi dalam berbagai cara. Deskripsi tentang anak-anak ini memperoleh data-data yang berharga dan dibangun dari grounded theory atas perkembangan anak, dimana anak-anak normal menunjukkan tanda ketertarikan dalam interaksi sosial pada masa kanak-kanak awal kehidupan pertama. Kanner menyatakan bahwa autism pada masa kanak-kanak dibawa sejak lahir, gangguan yang bersifat mendasar dimana anak-anak sejak lahir kurang memiliki motivasi untuk interaksi sosial dan kurang dalam cara menyatakan ekspresinya secara efektif. Penggunaan model kesalahan metabolisme sejak lahir, Kanner merasa bahwa anak autism lahir tanpa didahului secara biologis pada metabolisme psikologis sosial. Kanner mengunakan istilah kata autism untuk menunjukkan isi kualitas diri anak autism. Terminologi ini dipinjam dari Bleuler pada tahun 1911-1950, dimana penggunaan kata autism untuk mendeskripsikan pikiran yang istimewa atau aneh yang berpusat pada diri sendiri. Kanner menggunakan terminologi ”autism” yang menyebabkan beberapa kebingungan karena hal ini sebelumnya menggunakan terminologi dalam hubungannya dengan ”menyendiri” dalam fantasi yang ditunujukkan gangguan schizophrenia. Individu autism secara individual belum dibedakan dari schizoprenia. Terminologi ini mengakibatkan kebingungan awal tentang hubungan dari kondisi-kondisi anak autism dimana yang ia pelajari pada anak-anak yang suka menghindari kontak dengan orang lain sebagaimana awal usia 1 tahun.

Kesulitan sosial dari individu autism, Kanner melihat ciri-ciri yang tidak biasa dalam sejarah klinis dari anak-anak tersebut. Kanner mendeskripsikan bahwa anak-anak autism memiliki gangguan yang sangat berat dalam aspek komunikasi. Dalam kelompok terdapat tiga anak-anak autism adalah ”mute”, tidak bicara. Bahasa hanya ditandai dengan echolalia (pengulangan) dan kurang orisinil serta kesulitan dalam munggunakan kata ganti ”saya” dan menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal ”dia” sebagai dirinya sendiri atau mewakili ”saya”. Ciri lain adalah respon yang tidak umum terhadap benda di sekitar lingkungannya, contohnya anak autism mungkin tidak merepon kepada kedua orang tuanya, kurang sensitif pada suara atau pada perubahan kecil pada aktivitas sehari-hari yang sudah rutin.

Laporan Kanner yang sangat brelian secara klinis tentang pengasingan sosial/perilaku menyendiri yang luar biasa, penolakan terhadap perubahan dan ketidakberfungsian dalam komunikasi, serta aspek lain dalam laporan aslinya disangkal oleh penelitian selanjutnya. Isu-isu pada masa awal selanjutnya dalam sejarah penelitian autism ditekankan pada peran ibu dalam pathogenesis. Kanner mengamati bahwa peran ibu sering ditandai dengan keberhasilan pendidikan atau profesional. Ia juga menyadari bahwa ada masalah utama dalam hubungannya antara ibu dan anak mereka yang autism. Dalam laporannya, Kanner mengindikasikan bahwa ia meyakini autism terjadi karena bawaan sejak lahir (congenital), tapi isu faktor psikologis berpotensi menyebabkan autism dijelaskan oleh beberapa individu. Isu ini mengganggu dalam sejarah penemuan pada beberapa tahun. Pada tahun 1960-an, hal ini dikenal dengan sebagai perilaku parental yang tidak dianggap sebagai pathologis dari anak autism.

Menurut Mundy, Sigman, Ungere dan Sherman yang dikutip oleh Aarons dan Gittens (1999) ada dua jenis informasi mengarah pada teori ”psychogenic”. Hal ini dikenal bahwa anak-anak autism ditemukan dalam keluarga dari semua kelas sosial. Isu pokok yang sangat relevan pada psychogenic etiology memusatkan pada pola interaksi yang luar biasa pada anak-anak autism dan hubungannya dengan kondisi ibu mereka. Masalah yang berkaitan dengan individu autism dengan jelas dapat ditemukan pada sisi anak autism sendiri dan bukan dari sisi orang tua, meskipun ibu mungkin beresiko terhadap masalah yang bervariasi.

Kanner berspekulasi bahwa autism tidak berhubungan dengan kondisi yang bersifat medis. Namun, penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa kondisi medis yang bervariasi diasosiasikan dengan autism. Salah satu laporan berkaitan dengan aspek medis pada anak autism dapat dibaca pada tulisan Pauline A. Filipek dalam bukunya Volkmar et al. ”Hand Book of Autism and Pervasive Developmental Disorder” tahun 2005, hal.534, chapter 20).

Kanner juga menyadari hubungannya antara autism dan kesulitan intelektual. Kasus pertamanya adalah anak yang menarik tanpa ciri fisik yang tidak biasa, dimana memiliki prestasi baik pada beberapa tes IQ. (test rote memory dan copying; seperti menyusun balok, lebih baik dari pemahaman abstrak dan konsep verbal). Kanner merasa bahwa anak-anak autism bukanlah MR (Mentally Retarded) dan ia bersama dengan bebebrapa psikolog, setidaknya menginginkan faktor-faktor yang mendorong untuk menjelaskan performance yang kurang. Individu autism disebut sebagai functionally retarded. Kanner terkesan dengan potensi IQ yang normal, meskipun menghadapi keterlambatan yang nyata didasarkan pada apa yang menjamin penemuan secara konsisten pada tes psikologi. Anak-anak autism seringkali memiliki kemampuan tidak merata yang sangat luar biasa, dimana kemampuan nonverbal seringkali mencapai secara signifikan lebih dari pada kemampuan verbalnya. Selain itu, anak-anak autism berbeda dalam pola perilaku dan perkembangan kognitif, maka dari itu anak-anak autism memiliki gangguan bahasa yang berat.

Aarons & Gittens (1999) menuliskan beberapa poin yang berharga karena masih relevan dan menunjukkan kondisi yang bentuknya ”klasik” :

  1. An inability to develop relationships

Hal ini berarti bahwa anak dengan gangguan autism akan memiliki kesulitan dalam berinteraksi dengan orang dan mungkin menunjukkan lebih tertarik pada objek daripada dengan keberadaan manusia.

  1. Delay in the acquisition of language

Meskipun beberapa anak-anak dengan gangguan autism tidak mengembangkan kemampuan berbicara yang bermakna, sedang anak lainnya memperoleh bahasa. Tetapi sebagian besar hal ini muncul belakangan daripada perkembangan normal anak-anak pada umumnya.

  1. Non-communicative use of spoken language after it develops

Hal ini menggambarkan karakteristik khusus pada anak-anak dengan gangguan autism. Meskipun mereka memiliki atau dapat berkata-kata/bicara, tetapi mereka tidak dapat menggunakan untuk kepentingan berkomunikasi dalam kehidupan sehari-harinya.

  1. Delayed echolalia

Hal ini merupakan pengulangan dari kata-kata dan prase, ungkapan-ungkapan di video, nyanyian di televise/lagu atau iklan televisi yang pernah mereka dengar. Hal ini sangat umum terjadi pada anak-anak autism.

  1. Pronominal reversal

Hal ini berarti secara sederhana kata ganti “kamu sebagai aku”. Misalnya, Ibubertanya : “apakah kamu mau susu ?”. Anak menjawab: “Kamu mau susu”. Jelas sekali bahwa anak-anak autism kesulitan dalam menggunakan kata ganti kamu sebagai aku.

  1. Repetitive and stereotyped play

Secara tipycal, cara bermain anak dengan gangguan autism itu sangat terbatas. Mereka cenderung mengulang-ualang aktivitas yang sama dan kurang dapat mengembangkan bermain berpura-pura secara imajinatif.  Sebagaimana anak-anak pada umumnya bermain pura-pura dengan media boneka atau mobil-mobilan dengan teman sebayanya, namun tidak untuk anak-anak autism.

  1. Maintenance of sameness

Hal ini ditunjukkan dengan beberapa anak dengan gangguan autism dalam menolak perubahan di sekelilingnya dan kehidupan sehari-harinya. Ada anak autism yang memiliki kecenderungan selalu menutup pintu. Ia tidak mengizinkan pintu dalam keadaan terbuka dan bahwa pintu itu harus selalu tertutup. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan anak memahami kenapa perubahan itu harus terjadi. Konsep pintu yang ada di rumahnya adalah tertutup, tidak terbuka.

  1. Good rote memory

Beberapa anak-anak dengan gangguan autism itu menunjukkan prestasi yang luar biasa dalam mengingat dan belajar hafalan. Pada kasus-kasus tertentu anak autism mungkin dapat mengingat nama-nama kota ternama di dunia atau nama-nama universitas dan atau urutan arah jalan saat bepergian ke tempat tertentu, nomer telepon, peta daerah tertentu hanya dengan melihat beberapa kali saja. (visual learner).

  1. Normal physical appearance

Terlihatnya normal secara fisikal. Hal ini merupakan ciri yang terakhir dimana mendorong Kanner untuk meyakini bahwa anak-anak dengan gangguan autism tanpa kecuali memiliki intelegensi normal. Untuk beberapa tahun hal ini mengarahkan para ibudan professional memiliki harapan yang tidak realistik hasil dari diagnosis setiap anak dengan gangguan autism.

Aarons & Gittens (1999) menambahkan bahwa dalam waktu yang sama, seorang psychiatrist dari Jerman Hans Asperger mengenalkan pola perilaku abnormal dalam kelompok remaja dimana ia menyebutnya dengan “Autism Psychopathy” (kepribadian yang tidak normal). Tulisan yang dipublikasikannya terkenal adalah “Autism and Asperger Syndrome” yang diedit oleh Uta Frith tahun 1991. Kedua tulisan Hans Asperger dan Kanner mendeskripsikan aspek kondisi yang sama. Digby Tantam dalam publikasinya National Autism Society yang memberi kesan bahwa bagian dari keberadaan orang-orang dengan autism itu dapat bersosialisasi, perilaku yang janggal, ketrampilan secara verbal dan mengembangkan ketertarikan khusus. Dia menggunakan terminologi ”Aspergers Syndrome” untuk menentukan individu dalam kelompok ”difficulties”.

Daftar Pustaka

Aarons, Maureen and Gittens, Tessa. (1999). The Handbook of Autism, A Guide for Parent and Professionalls. Routledge, London and New York.

Volkmar, Paul, Klin dan Cohen. (2005). Handbook of Autism and Pervasive Developmental Disorder. Volume 1 : Diagnosis, Development, Neurobiology and Behavior. John Weley & Sons Inc