Pendahuluan
Setiap orang tua selalu mendambakan anak lahir dengan keadaan tak sekurang apapun dan berkembang selayaknya anak-anak pada umumnya. Namun demikian, sebagian di antara kita terkadang mendapati kondisi yang berbeda dari buah hati kita. Ada sebagian orang tua diberikan rahmat anak yang lahir dan berkembang dengan kondisi yang tidak sama dengan anak-anak pada umumnya seperti anak dengan hambatan penglihatan, pendengaran, gangguan mental, keadaan fisik yang berbeda, hiperaktif, sulit berbicara, gangguan konsentrasi maupun anak autis, kesulitan membaca, menulis dan berhitung (learning diabilitas/kesulitan belajar). Keadaan anak ini disebut dengan anak berkebutuhan khusus (ABK). Terminologi ABK ini sebenarnya tidak sebatas anak-anak di atas. Anak jalanan, korban bencana alam, anak korban perang, HIV, korban penyalahgunaan narkoba, juga di kategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus.
Setiap individu memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tak terkecuali ABK. Sebagai bagian dari warga negara, ABK harus tetap mendapatkan akses pendidikan dari sejak lahir hingga akhir hayat, baik di keluarga, sejak usia dini hingg perguruan tinggi. Mereka dapat menempuh pendidikan melalui jalur non formal atau formal pada Sekolah Luar Biasa (SLB) atau melalui Sekolah Inklusi.
Dalam satu dekade terakhir ini, isu pendidikan inklusif terus disosialisasikan, dikembangkan dan diimplementasikan. Penyelengaraan pendidikan yang mereduksi filosofi inklusi terus diciptakan. Oleh karena itu sudah saatnya masyarakat pada umumnya dan masyarakat pendidikan khususnya dikenalkan apa itu pendidikan inklusif dan implementasinya. Tulisan ini mencoba memberikan pengantar tentang hakekat inklusi, pendidikan inklusif dan implementasinya.
Hakikat Inklusi
Secara harafiah inklusi (inclusion) berarti “ketercakupan/ketersertaan”. Heijmen (2005) mengemukakan bahwa inklusi pada hakikatnya adalah sebuah filosofi pendidikan dan sosial yang menghargai keberagaman, menghormati bahwa semua orang adalah bagian dari yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun perbedaannya. Falsafah inklusi memandang manusia sebagai makhluk yang sederajat walaupun berbeda-beda. Filosofi inklusi itu juga berkaitan dengan kepemilikan, keikutsertaan, partisipasi dalam komunitas dan keinginan untuk dihargai.
Manusia diyakini diciptakan untuk menjadi satu masyarakat, sehingga sebuah masyarakat yang normal selalu ditandai oleh adanya keragaman dan keanekaragaman, bukan keseragaman. Secara empiris tidak pernah kita dengar adanya pelabelan masyarakat (desa/kota) dengan label tertentu dimana anggota masyarakatnya seragam seperti desa khusus untuk orang tuli, kota khusus untuk orang buta, kota khusus untuk anak autistik, daerah untuk orang cacat mental, desa untuk orang yang tidak bisa membaca dan sebagainya. Keanekaragaman dan keragaman yang terjadi adalah normal adanya dan berbagai katagori individu dengan hambatan seperti hambatan fisik, mental, intelektual, sosial, emosi dan komuniaksi dan bahasa, ekonomi, agama, suku dan sebagainya selayaknya dilihat sebagai hal yang lumrah.
Falsafah inklusi mencoba menghargai perbedaan-perbedaan setiap individu. Inklusif memandang manusia dengan segala karakteristik uniknya, merangkul perbedaan yang ada dan saling berbagi sesama manuasi. Falsafah inklusif menekankan sikap menghargai atas perbedaan dan kebalikannya inklusi mencoba melawan diskriminasi, eksklusivitas, memberikan hak dan menciptakan keadilan yang seadil-adilnya.
Pendidikan Inklusif
Kita telah diciptakan sederajad walaupun berbeda-beda. Apapun jenis kelamin, penampilan, kesehatan atau kemampuan berfungsi, kita telah diciptakan ke dalam suatu masyarakat. Penting untuk diakui bahwa sebuah masyarakat normal ditandai oleh keragaman dan keberagaman–bukan keseragaman. Namun pada kenyataannya anak-anak dan orang dewasa yang berbeda dalam kebutuhannya dari kebutuhan kebanyakan orang telah dipisahkan dengan alasan yang beragam untuk waktu yang terlalu lama– semua alasan tersebut tidak adil. (Skjorten, 2003).
Mereduksi filosofi inklusif di atas, maka pendidikan inklusif dikembangkan berdasarkan keyakinan fundamental bahwa setiap individu dapat belajar, berkembang, tumbuh, dan bekerja dengan semua orang yang memiliki latar belakang yang berbeda di sekolah, lingkungan kerja dan masyarakat. Pendidikan inklusif adalah wujud nyata komitmen penyediaan kesempatan belajar bagi semua anak, remaja dan orang dewasa dengan fokus pada individu yang tergolong minoritas, terpinggirkan dan tidak terperhatikan.
Sebagian individu yang tergolong minoritas, terpinggirkan dan belum terperhatikan dalam pendidikan. Pendidikan inklusif merupakan pendekatan pendidikan yang berusaha mengakomodasi semua anak tanpa mempedulikan keadaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, atau kondisi-kondisi lain, termasuk anak-anak penyandang disabilitas, anak-anak berbakat (gifted children), pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas dan anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat (Salamanca Statement, 1994 dalam Stubbs, 2003).
Dalam konteks pendidikan inklusif berarti semua anak, siapapun mereka, terlepas dari kemampuan maupun ketidakmampuan intekektual mereka, latar belakang sosial-ekonomi, suku, budaya atau bahasa, agama ataupun jender selayaknya menyatu dalam komunitas sekolah yang sama. Dengan berbagai perbedaan yang ada, setiap individu memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang sama.
Pendidikan inklusif harus menjangkau semua anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Pendidikan inklusif selayaknya merangkul mereka yang termarjinalkan untuk dapat mengenyam pendidikan yang berkualitas. Pendidikan inklusif membuat sesuatu yang tidak terlihat menjadi terlihat, yang tidak diperhatikan menjadi diperhatikan, yang tidak terlayani menjadi berharga dan yang tersisih menjadi dapat berpartisipasi. Pendidikan inklusif mencoba memastikan bahwa semua siswa mendapatkan hak dan memastikan semua siswa memperoleh pendidikan dengan kualitas yang baik. (Shaeffer, 2005).
Pendidikan inklusif merespon adanya perbedaan dalam pendidikan. Pendidikan inklusif berusaha menempatkan anak berkebutuhan khusus dengan kondisi ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas regular. Sapon-Shevin dalam Sunardi (2002) menyatakan bahwa pendidikan inklusif merupakan sistem pelayanan pendidikan kebutuhan khusus yang mempersyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman sebayanya. Untuk itu ditekankan adanya rekunstruksi elemen-elemen di sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan setiap anak, artinya sumber dan dukungan dari semua guru dan siswa harus diperkaya.
Tujuan dari pendidikan inklusif adalah untuk memastikan akses yang sama dan kesempatan yang sama dalam pendidikan bagi semua individu termasuk individu yang berkebutuhan khusus, terlepas dari bentuk kebutuhan khusus mereka. (Booth, Ainscow, 2007). Inklusi mengarah ke “merge ” dari minoritas (yaitu individu dengan disabilitas/kebutuhan pendidikan khusus) dan mayoritas (yaitu populasi utuh/rekan utuh). Kelas inklusif menciptakan lingkungan pendidikan yang sesuai dan juga untuk anak yang berbakat dan cerdas. Sekolah inklusi menawarkan anak dengan kebutuhan khusus berkesempatan untuk belajar bersama-sama dengan teman sebaya mereka, untuk belajar di kelompok yang heterogen. (Catatan: bagian dari pembelajaran sosial), untuk terlibat dalam pendidikan dengan cara yang sesuai dengan keterampilan dan kebutuhan mereka, dalam lingkungan yang aman yang meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri mereka.