PENDIDIKAN INKLUSIF: MERESPON KEBERAGAMAN PESERTA DIDIK

Foto: FKIP UNS

By: Joko Yuwono

Kita telah diciptakan sederajad walaupun berbeda-beda. Apapun jenis kelamin, penampilan, kesehatan atau kemampuan berfungsi, kita telah diciptakan ke dalam suatu masyarakat. Penting untuk diakui bahwa sebuah masyarakat normal ditandai oleh keragaman dan keberagaman–bukan keseragaman. Namun pada kenyataannya anak-anak dan orang dewasa yang berbeda dalam kebutuhannya dari kebutuhan kebanyakan orang telah dipisahkan dengan alasan yang beragam untuk waktu yang terlalu lama– semua alasan tersebut tidak adil. (Skjorten, 2003).

Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang merespon adanya keberagaman, perbedaan dan non diskriminatif. Pendidikan inklusif memberi kesempatan kepada semua anak tak terkecuali adalah anak-anak berkebutuhan khusus termasuk disabilitas untuk mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas. Pendidikan inklusif meyakini bahwa setiap individu dapat belajar, berkembang, tumbuh, dan bekerja dengan semua orang yang memiliki latar belakang yang berbeda di sekolah, lingkungan kerja dan masyarakat.

Sekolah dan komunitasnya semestinya adalah inklusif, tidak membeda-bedakan. Guru, orang tua, dan peserta didik bekerja sama untuk menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan ramah dan aksesibel bagi semua anak.

Di Indonesia, konsep anak berkebutuhan khusus dikaitkan dengan layanan pendidikan khusus dimana Pendidikan Khusus (PK), pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN, pasal 127 didefinisikan sebagai pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Peserta didik pada pasal 127 ini selanjutnya disebut dengan anak berkelainan, bukan ditulis anak berkebutuhan khusus.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan  anak berkelaianan pada pasal 123 (3) adalah a. tunanetra; b. tunarungu; c. tunawicara; d. tunagrahita; e. tunadaksa; f. tunalaras; g. berkesulitan belajar; h. lamban belajar; i. autis; j. memiliki gangguan motorik; k. menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain; dan l. memiliki kelainan lain serta tuna ganda. Sekali lagi adalah anak berkelainan. Ini diberikan pendidikan melalui pendidikan formal.

Bagi anak-anak yang berbeda kebutuhan khusus lainya karena kondisi lingkungan pada Pasal 139 (1) diberikan dengan pendidikan layanan khusus yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik di daerah: a. terpencil atau terbelakang; b. masyarakat adat yang terpencil; c. yang mengalami bencana alam; d. yang mengalami bencana sosial; dan/atau e. yang tidak mampu dari segi ekonomi. Ini diberikan layanan pendidikan melalui jalur non-formal

Jadi, jika merujuk pada pasal 129 dan 139 pada PP 17 tahun 2010 menunjukkan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus itu bisa karena kelaianan dan atau karena kondisi lingkungannya. Inilah yang selanjutnya disebut dengan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus yang harus direspon oleh kebijakan pendidikan inklusif di Indonesia. Bentuk layanannya adalah melalui jalur formal bagi anak berkelainan dan jalur non-formal bagi peserta didik dengan kondisi sosial ekonomi tertentu.

Isu lainya adalah tentang Disabilitas. Konsep disabilitas dalam Undang-Undang No 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Disabilities atau Disability adalah kata dari Bahasa Inggris yang bilamana kata tersebut diterjamhkan ke dalam Bahasa Indonesia memiliki arti yakni cacat, ketidakmampuan, kelumpuhan dan “ketidakprigelan” (Nominal). Dalam kehidupan sehari-hari, forum ilmiah, para akademisi, guru seringkali menggantikan kata disabilities/disability dengan istilah DISABILITAS. Istilah disabilitas biasanya disandingkan dengan kata penyandang, sehingga menjadi kata Penyandang Disabilitas. Jika menggunakan rujukan tersebut di atas kata penyandang disabilitas berarti orang atau individu dimana pada dirinya menyandang, melekat kecacatan, ketidakmampuan, kelumpuhan atau ketidakprigelan.

Kata penyandang disabilitas telah digunakan secara resmi dalam regulasi yang di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menggantikan Undang undang no 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Kata penyandang disabilitas kini ditetapkan sebagai sumber utama acuan resmi definisi dan klasifikasi penyandang disabilitas di Indonesia, serta hak-hak penyandang disabilitas atas pendidikan, pekerjan, standar hidup yang layak, perlakukan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional, aksesibilitas dan rehabilitasi, dan hak-hak lainnya.

Di dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Di dalam Undang-Undang ini pada pasal 4 (1) menyebutkan tentang ragam disabilitas yakni a. Penyandang Disabilitas fisik; b. Penyandang Disabilitas intelektual; c. Penyandang Disabilitas mental; dan/atau d. Penyandang Disabilitas sensorik. Ragam disabilitas dapat dialami secara tunggal, ganda, atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya penting dipahami siapa saja yang dimaksud dengan ragam-ragam disabilitas tersebut. Berikut penjelasan jenis disabilitas dari setiap ragam tersebut.

  1. Disabilitas Fisik Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas fisik” adalah terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy (CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil.
  2. Yang dimaksud dengan Penyandang Disabilitas Intelektual adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrom.
  3. Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.
  4. Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas sensorik” adalah terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.
  5. Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas ganda atau multi” adalah Penyandang Disabilitas yang mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas, antara lain disabilitas runguwicara dan disabilitas netra-tuli. Yang dimaksud dengan “dalam jangka waktu lama” adalah jangka waktu paling singkat 6 (enam) bulan dan/atau bersifat permanen.

Konsep pendidikan inklusif di Indonesia diinisiasi oleh Direktorat Pendidikan Khusus dan didikukung oleh Program Studi Pendidikan Khusus. Pendidikan khusus berbicara tentang keberagaman anak tetapi Pemerintah hanya menyelenggarakan pendidikan khusus untuk jenis visual impairment, hearing impeirment, intelektual disability, physical disorder dan autis. Lalu muncullah UU No 8 tahun 2016 yang membawa isu tentang disabilitas dengan ragam jenis disabilitas yang telah saya tulis di atas. Ada perbedaan yang mencolok konsep anak berkebutuhan khusus dengan istilah peserta didik berkelainan dan disabilitas.

Selanjutnya, dalam kontek pendidikan inklusif, isu yang sering ditekankan adalah isu disabilitas, bukan anak berkebutuhan khusus. Isu disabilitas menjadi kuat dalam implementasi pendidikan inklusif di Indonesia karena salah satunya adalah banyaknya oraganisasi disabilitas yang terus memperjuangkan hak-hak pendidikan mereka. Padahal, inklusif tidak hanya berbicara tentang disabilitas tetapi all students. Keberagaman!

 

Dr. Joko Yuwono/Kepala Prodi Pendidikan Luar Biasa & PSD LPPM UNS

JOKO YUWONO, Lahir di Solo, 19 Juni 1973. PENDIDIKAN DAN PENGALAMAN Bersekolah di Solo dari SD, SMP, SMA hingga jenjang Perguruan Tinggi. Lulus dari Prodi. Pendidikan Khusus (PKh) FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 1997, saya hijrah ke Jakarta untuk mengaplikasikan keilmuan yang saya peroleh. Saya bekerja di sebuah pusat layanan anak berkebutuhan khusus (Autis dan Cerebral Palscy). Selama 3 tahun, Saya bekerja menjadi terapis, guru hingga Kepala SLB. Kemudian, pada tahun 2000, saya memulai mendirikan lembaga penanganan anak autis secara mandiri. Saya memiliki 3 lembaga, 2 lembaga penanganan anak autis di Jakarta dan 1 lembaga pendidikan anak usia dini/PAUD Tangerang. Pada tahun 2005, saya mengikuti seleksi masuk Program Master/S2, Jurusan Pendidikan Khusus (fokus: Pendidikan Inklusif). Kebetulan Program Master ini adalah Program Beasiswa kerjasama Direktorat Pendidikan Khusus Kemdikbud RI dan Braillo Norwey melalui Universitas Pendidikan Indonesia dan Oslo University di Bandung. Saya adalah angkatan ke 2. Selama dua tahun saya belajar tentang Pendidikan Inklusif. Setelah lulus, saya langsung melanjutkan Program Doktor pada Jurusan Psikologi dan Konseling. Selama 5 tahun, saya menempuh Program Doktor. Tahun 2012/2013 saya menyelesaikan sekolah. Jadi, 7 tahun saya bersekolah, menuntut ilmu, mondar-mandir Jakarta-Bandung. Saya menjadi guru/terapis di lembaga saya sendiri dan home visit (sejak 1997) di Jakarta sekitarnya. Saya juga pernah menjadi konsultan di Medan selama 2 tahun, 1-2 bulan sekali pergi ke Medan. Demikin pula di Jambi, Bandung dan Solo. Saya juga pernah jadi Konsultan di Sekolah Khusus di Jakarat, sebagai Tenaga Ahli di Direktorat PKLK Kemdikbud (2016) dan Konsultan di World Bank (2021) untuk Mengevaluasi Program Pendidikan Inklusif di Indonesia atas inisiasi Dirrektorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PMPK) Kemdikbud-ristek RI. Selain menjadi guru atau terapis, saya juga menjadi Dosen di beberapa Universitas seperti Universitas Katolik Atmajaya Jakarta Prog. PGSD dan Bimbingan Konseling sekitar 7 tahun, Universitas Islam Nusantara/Uninus Jur. Pendidikan Luar Biasa, Bandung selama 7 tahun dan MENDIRIKAN dan mengajar di Prodi Pendidikan Luar Biasa di Universitas Sultan Ageng Tirtayas Serang Banten selama 5 tahun. Dan tak disangka, akhirnya saya kembali ke kampung halaman, Solo. Saat ini, Saya mengabdikan diri di Prodi. Pendidikan Khusus FKIP UNS/Universitas Sebelas Maret Surakarta. Terima Kasih Prof. Dr. Ravik Karsidi, Prof. Dr. Sunardi, Prof. Gunarhadi, Prof. Munawir Yusuf dan juga Dr. Subagya yang memotivasi saya untuk kembali ke UNS Surakarta dan terus berkarya. KELUARGA DAN PENGALAMAN KERJA SRABUTAN Saya adalah anak ke 6 dari 9 bersaudara. Bapak saya adalah seorang sopir dan si Mbok adalah penjual gorengan dan nasi kucing di Kampung Sewu Jebres Solo. Penghasilan orang tua jauh dari pas-pasan. Sekolah terbata-bata. Saya harus bersekolah sambil bekerja waktu S1-S3, semuanya MANDIRI. Alhamdulilah. Berbagai pekerjaan pernah saya lakoni, jual jagung bakar, jual nasi, jualan es dawet, kuli bangunan, jualan alat kesehatan, jaga counter di Pasar Pagi Mangga Dua, jualan tas keliling hingga ke Pacitan dan Ponorogo, membuat tas dari sak semen (bungkus semen), hingga mengamen adalah cara untuk mempertahankan hidup dan bersekolah/kuliah. Selalu cemas setelah ujian akhir semester, dimana sementara mahasiswa yang lain kebanyakan sibuk memikirkan kemana mereka akan rekreasi/refreshing setelah menemouh ujian semesteran, saya justru dipaksa harus berpikir keras kemana mencari uang SPP yang pada waktu itu cuma Rp. 90.000-150.000. Alhamdulillah, selesai juga dan tak menyangka kini saya bisa bersekolah terus hingga tuntas, hingga Doktor. berkah anak dari si Mbok Penjual Nasi Kucing, jajanan khas Kota Solo (angkringan). Terima kasih Allah SWT. Apa yang saya tulis di atas bukan saya ingin menyombongkan diri, tetapi hanya berbagi pengalaman. Sekolah hanyalah tanda bahwa kita pernah belajar dan berpikir. Sekolah setinggi-tingginya adalah penting, lebih penting lagi adalah apa yang bisa kita lakukan setelah sekolah, apa yang bisa kita perbuat setelah sekolah! Terus Belajar dan Salam Hidup Bermanfaat!!